Pendahuluan
Seorang guru yang mengajar di dalam kelas mengetahui
bahwa sangat penting baginya untuk mempersiapkan diri sebelum proses belajar
mengajar dimulai. Sangat penting! Guru harus menyusun sebuah persiapan tentang
apa – apa saja yang perlu disampaikan di dalam kelas. Apakah dengan waktu
mengajar satu kali pertemuan dirinya (guru) dapat menyampaikan dua buah judul
kecil di dalam sebuah bab, atau hanya satu judul saja; apakah nanti banyaknya
soal yang ditampilkan di dalam kelas hanya satu saja, atau dua, atau lebih; bagaimana
jika para siswa banyak menanyakan tentang topic tentang cara menyelesaikan permasalahan
segitiga siku-siku misalnya; atau kapan tepatnya seluruh topic dan ujian atau
kuis dapat diselesaikan sehingga guru dapat melanjutkan ke proses selanjutnya;
semuanya pertanyaan – pertanyaan tersebut adalah hal yang sangat penting.
Namun demikian, yang tidak kalah pentingnya diperhatikan
oleh guru ketika membuat persiapan sebelum masuk ke dalam kelasnya adalah bahwa
dirinya harus benar – benar membuat persiapan tentang ujian. Kerapkali selama
pengalaman belajar mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, saya
mengidentifikasi bahwa ujian setiap pertemuan tidak terlalu dianggap penting
oleh guru – guru di sekolah. Mungkin sampai sekarang di banyak sekolah tidak
banyak guru yang memahami arti penting dari sebuah penilaian siswa. Dari
serangkaian blog yang saya tulis, saya lebih menekankan ke penilaian siswa
khususnya penilaian kognitif siswa, kecuali ada penjelasan lain yang
diperlukan.
Penilaian kognitif dipilih karena dianggap lebih
relevan terhadap kondisi para siswa kebanyakan. Penilaian kognitif yang dipilih
adalah semua penilaian berdasarkan tingkat kognitif siswa: mengetahui (knowing),
memahami (understanding), menerapkan (applying), mencacah (analyzing),
memberikan penilaian (evaluating), dan menciptakan (creating). Secara umum, tingkat
kognitif siswa dapat diberikan nilai sesuai dengan apa – apa saja yang sudah
dicapai oleh siswa. Cara – cara memberikan nilai inipun beragam: ada yang
menuliskan dengan huruf, kalimat, bahkan angka. Belakangan, tata cara pemberian
nilai dituliskan di dalam sebuah rubric. Rubrik yang paling teliti yang banyak
dipakai di seluruh dunia adalah rubrik yang sudah dibuat berdasarkan standar Cambridge.
Mengingat cakupan (objek) kognitif yang sangat banyak,
maka objek penilaian matematika haruslah relatif khusus. Untunglah, beberapa
pakar pendidikan matematika di seluruh dunia sudah merumuskan objek – objek itu di dalam sebuah buku yang berjudul Principles and Standards for School
Mathematics (NCTM, 2000).
EDKS - 2016
Objek – objek penilaian tersebut merupakan kemampuan
– kemampuan yang dimiliki oleh seorang siswa setelah pembelajaran. Menurut
praktisi – praktisi yang tergabung di dalam NCTM, kemampuan – kemampuan
(proficiency) tersebut mencakup pemecahan masalah, komunikasi matematika,
koneksi matematika,pemodelan, dan lain – lain yang tersebar di setiap topic
Matematika di seluruh jenjang pendidikan. Sementara itu, masih banyak
klasifikasi kemampuan – kemampuan matematika lainnya menurut perkembangan yang
dianggap perlu. Kita dapat melihat hasil – hasil penelitian dari Alan
Schoenfeld, Baroody, Richard Meyer, dan yang lainnya untuk mendukung kalimat
terakhir tersebut.
Tampaknya, oleh karena banyaknya praktisi yang
menemukan objek – objek penilaian matematika kadang – kadang mereka akan
menyebutkannya satu per satu tanpa menyadari bahwa objek – objek tersebut
berkaitan satu sama lain. Sebut saja kemampuan pemecahan masalah yang
mengharuskan kita untuk belajar menghubungkan satu konsep dengan konsep yang
lain (connection). Barangkali dengan
banyaknya penerapan model Problem based
Learning dengan dalil Realistic
Mathematics Education contohnya, para praktisi tidak dapat menyangkal bahwa
peran koneksi matematika sangat diperlukan di dalam kemampuan komunikasi
matematika.
Setelah objek – objek penilaian itu menjadi jelas,
maka para guru dapat mengukurnya. Sebagai objek – objek yang jelas dapat
dikatakan para guru dapat menghimpunnya dalam sebuah buku khusus pegangan guru.
Cermat tidaknya guru di dalam mengukur objek – objek ini dapat dikatakan
menjadi suatu norma yang harus dipahami dan dirundingkan antarguru. Pemilihan
alat ukur yang benar dan cermat dapat menjadi kriteria yang harus dipegang
benar – benar di kemudian hari. Pengembangan – pengembangannya selanjutnya
dapat dilaksanakan oleh konferensi guru tingkat sekolah atau organisasi
sejenis.
Assessment:
Analogi Pengukuran Fisis
Berikutnya kita akan menyamakan istilah assessment (Inggris) dengan penilaian merujuk pada Kamus Merriam
Webster yang artinya adalah menentukan atau
mengukur seberapa penting, seberapa besar, atau seberapa berhargakah sesuatu yang
diukur itu. Sementara yang dimaksudkan penilaian di sini adalah tentang matematika saja. Jadi,
kita dapat mengartikan bahwa penilaian objek matematika adalah cara – cara
tertentu untuk menentukan atau mengukur seberapa besarkah objek - objek
matematika yang dimiliki oleh seorang siswa itu. Objek – objek ini sudah
dibahas secara ringkas pada pendahuluan di atas dan selanjutnya akan dijelaskan
secara definitif.
Dengan adanya suatu objek yang jelas, maka kita
dapat mengukurnya dengan jelas pula. Beberapa orang berbeda yang disuruh
mengukur panjang dan lebar sebuah meja barangkali akan mendapatkan hasil ukuran
yang berbeda – beda. Katakan saja ada yang mendapatkan lima belas jengkal,
tujuh belas jengkal, tujuh belas setengah jengkal dan lain – lain. Pembaca
pasti sudah memahami bahwa tidak seorang pun yang salah mengenai hasil
pengukuran seperti itu, tetapi itulah yang menjadi masalah sesungguhnya.
Penjelasan mengenai hal itu adalah karena jengkal
mereka berbeda – beda walaupun beberapa orang dapat melihat ada yang mendekati
sama. Permasalahan jengkal yang satu
dengan yang lainnya kerapkali tidak disadari dan akan menimbulkan perdebatan.
Dengan adanya perbedaan ukuran jengkal inilah alat ukur umum (standar) seharusnya
disediakan. Berikutnya, dengan menggunakan meteran misalnya, maka hasil ukuran
panjang atau lebar meja tersebut tidak akan beragam lagi (sampai batas
ketelitian tertentu yang dipakai).
Dengan menggunakan analogi fisis sederhana tersebut,
kita dapat melihat bahwa ternyata objek – objek matematika itu dapat diukur
begitu saja menggunakan ujian (test),
hanya saja dapat memungkinkan timbulnya perdebatan di antara praktisi mengenai
aturan yang baku dan aturan yang kurang baku. Selain itu, tingkat ketelitian
yang berbeda – beda mengenai ujian tersebut justru dapat membuat tingkat
kepercayaan terhadap ujian itu semakin rendah. Kajian mengenai ketelitian dan
standarisasi ujian – ujian matematika belum banyak ditemukan di sekolah –
sekolah Indonesia, kecuali mereka yang menggunakan kurikulum Cambridge atau
sejenisnya.
Pendapat
terhadap Standarisasi Penilaian
Tampaknya sampai tahun ini tidak dapat disangkal bahwa
standarisasi penilaian (assessment) ujian di sekolah – sekolah Indonesia hanya
pada ujian akhir nasional saja. Itupun kemungkinan tidak melibatkan organisasi
para guru. Sementara itu, ujian – ujian sumatif (seperti halnya ulangan harian)
belum mendapat perhatian khusus. Saya sangat yakin ini adalah masalah utama
mengapa ujian akhir nasional tidak dapat dijadikan tolak ukur (norma) untuk
mewujudkan sistem pendidikan yang baik. Jadi, sebaiknya standarisasi ujian
diberi perhatian khusus di dalam perkembangan pendidikan Matematika.
Ujian
sebagai Bagian dari Assessment
Ketika seorang guru memulai pembelajaran di kelas,
setumpuk indikator sudah dimuat di dalam ingatannya. Guru dapat saja
memberitahukan siswanya hal-hal apa saja yang harus dicapai siswa setelah
pembelajaran di kelas, misalnya untuk topic trigonometri siswa diberitahukan
supaya dapat menulis sendiri definisi sines,
cosines, dan tangen dan penerapannya di dalam masalah-masalah* Matematika.
Setelahnya guru menyediakan waktu untuk menjelaskan materi (konten), atau
menyediakan suatu permasalahan untuk didiskusikan: supaya para siswa dibimbing
masuk ke dalam core of the learning. Di akhir pembelajaran, kuis atau soal menantang diberikan kepada siswa.
Setelah sekian banyak pertemuan di kelas, guru tidak
dapat menghindarkan diri dari sebuah tugas penting, yaitu menguji siswa (testing). Menguji adalah memberikan
sejumlah masalah penting yang disesuaikan dengan indikator-indikator yang
merepresentasikan sebagian besar pembelajaran yang telah dilalui oleh seorang
siswa.
Secara umum ada dua tipe umum ujian: formatif dan sumatif. Tunstall dan Gipps (Torrance and Pryor, 2002) menggambarkan
ujian formatif sebagai berikut.
"Formative
assessment…means teachers using their judgments of children’s knowledge or
understanding to feedback into the teaching process and to determine for
individual children whether to re-explain the task/concept, to give further
practice on it, or move on to the next stage."
Ujian formatif (dapat) berarti bahwa guru memberikan
penilaiannya atas pengetahuan atau pemahaman yang dimiliki para siswanya
sebagai umpan balik prosess pembelajaran dan menggunakannya untuk menentukan
apakah seorang siswa dapat menjelaskan kembali tugas atau konsep tertentu,
selanjutnya mempraktikkannya, atau untuk melanjutkan pembelajaran di tahap
selanjutnya. Jadi, ujian formatif merupakan ujian yang diberikan untuk
mengetahui tingkat kemampuan siswa pada materi Matematika yang sudah diajarkan.
Dengan demikian ujian formatif dapat diartikan juga
sebagai suatu ulangan harian.
Sejumlah konsep atau permasalahan Matematika yang diangkat ke dalam materi
ujian dikerjakan oleh para siswa agar guru dapat mengetahui apakah seorang
siswa dapat melanjutkan ke konsep atau bab selanjutnya atau harus mengulang
pembelajaran pada konsep – konsep yang diujikan itu. Biasanya guru akan
memberikan pengayaan bagi mereka yang sudah lulus ujian dan remediasi kepada
siswa yang belum lulus. Inilah yang nanti dasar dari remediation and enrichment learning.
Setelah beberapa kali dilaksanakannya ujian
formatif, akhirnya para guru menyiapkan suatu ujian sumatif. Di dalam kurikulum
yang menganut system semester, ujian sumatif diadakan pada akhir semester,
yakni setelah keseluruhan rangkaian pembelajaran di dalam satu semester itu
habis. Tidak banyak penjelasan mengenai ujian sumatif,
tetapi pada dasarnya ujian sumatif digunakan untuk mengukur kemampuan siswa
secara umum, untuk kemudian dikomunikasikan di dalam sebuah laporan. Secara
definitive, ujian nasional termasuk ujian sumatif.
Komentar
Posting Komentar